Menu Close

Sejarah Dewi Kwan Im Dewi Welas Asih

Di kawasan Asia Timur, Kwan Im (Kuan Yin) dikenal sebagai dewi welas asih. Selain itu, Kwan Im juga seorang Bodhisattva. Dalam ajaran Buddha, Bodhisattva adalah seseorang yang yang telah mendapatkan pencerahan hingga mencapai kesempurnaan dan pada akhirnya mencapai nirwana, namun dia kembali lagi ke dunia untuk menyebarkan kembali ajaran Sang Buddha dan melayani makhluk yang masih menderita.

Asal muasal sejarah dewi Kwan Im yang diterima secara umum bersumber pada sutra Buddha. Hal ini dipahami sebagai mitra wanita dari Bodhisattva pria ‘Avalokiteshwara’. Namun, menurut kepercayaan rakyat Cina, terdapat cerita yang berbeda dari asal-usulnya.patung dewi kwan im

Ada banyak legenda tentang asal-usul dan riwayat kehidupan Kwan Im. Salah satu diantaranya adalah penggambaran tentang dirinya sebagai putri ketiga dari seorang raja yang kejam. Penganut Budha yaitu Miao Shan, dari abad ke-12, merasa telah memiliki kedamaian dan tinggal di sebuah biara. Meski begitu, ayahnya berupaya memaksanya untuk berubah pikiran.

Sejarah dewi Kwan Im menurut cerita yang melegenda


Tersebutlah seorang dewi yang tinggal di kahyangan bernama Tze Fang. Ia melihat dunia penuh dengan dosa dan Triratma atau Tiga Permata Mulia yakni Buddha, Dharma dan Sangha telah begitu disia-siakan oleh manusia, maka berdasarkan rasa welas asih yang sangat besar kepada umat manusia, ia mengambil keputusan untuk mengorbankan dirinya turun kedunia demi menyebarkan kemuliaan dan memberikan penerangan kepada umat manusia, agar mereka dapat berpaling ke jalan yang benar.

Diapun turun ke bumi dan terlahir sebagai putri bungsu dari Po ya, permaisuri Raja Miao Chuang dari Negeri Hsing Lin dan diberi nama Miao Shan, yang berarti ‘Kebijaksanaan dan Indah’. Ketika hamil putri yang ketiga ini, pada suatu malam Po Ya bermimpi melihat cahaya terang yang amat besar jatuh kepangkuaanya. Pada tanggal 19 bulan kedua Imlek, Putri Miao Shan dilahirkan.

Semenjak kecil Miao Shan tidak suka minum susu dari ibunya atau yang diperas dari binatang dan hanya memakan sayuran. Ketika Miao Shan sudah menjadi remaja putri, dia mulai menempuh kehidupan secara orang suci, hatinya penuh cinta kasih dan welas asih, otaknya tajam sehingga sekali membaca kitab suci dia dapat menghafal luar kepala, suatu sifat yang biasanya dimiliki oleh nabi dan orang- orang suci.

Pada suatu hari, ketika Miao Shan sedang bermain di taman istana yang indah dan penuh dengan bunga-bunga yang harum semerbak, dia berkata kepada kedua kakaknya, yaitu Miao Yuan dan Miao Yin

dengan sikap yang sungguh-sungguh. Katanya, “Kekayaan dan kemuliaan adalah seperti hujan di musim semi atau embun di waktu pagi, dalam sekejap saja akan sirna kembali. Para raja zaman dahulu dan sekarang mengira keagungan dan kejayaan mereka bisa abadi untuk selama-lamanya, akan tetapi usia tua dan penyakit akan mengantar mereka ke dalam peti mati. Bagiku, kesemuanya itu tidak kuinginkan, yang aku ingin hanyalah mengasingkan diri di suatu gunung yang sunyi dan mencoba mendapatkan kesempurnaan. Bila pada suatu hari aku bisa mencapai tingkat tertinggi dari kesempurnaaan, maka pada saat itu, aku akan mengendarai awan putih di langit, melanglang ke seluruh jagad, menotong orang-orang yang sengsara dan bersedih di atas bumi ini, dan menyadarkan roh-roh yang jahat menjadi baik, membimbing mereka yang tidak tahu menuju ke jalan yang sempurna.”

Setelah kedua kakaknya menikah, maka Raja Miao Chuang bermaksud menikahkan Miao Shan, tetapi Miao Shan menolak. Dia berkata, “Sangat susah bagi saya membalas kecintaan ayah dan ibu yang telah sekian lama memelihara dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang. Ayah mengajar saya tentang tiga macam aturan berbakti dan empat sifat baik, akan tetapi saya melihat bahwa dunia berdebu merah ini serba busuk dan palsu, dari hari ke hari manusia menuntut kehidupan yang membuat dirinya kotor sehingga saya merasa segala apa yang berada di atas bumi ini sudah menjadi hancur. Saya ingin mensucikan pikiran saya, menjaga karma saya dan meloloskan diri dan lumpur kecelakaan ini.”


Selanjutnya dia berkata, “Manusia itu pada mulanya baik, tetapi hanya sedikit yang tetap suci dan mempunyai pikiran terang. Kebanyakan dari mereka tertarik pada minuman keras, nafsu birahi dan kekayaan, meyebabkan mereka kian tersesat. Hanya untuk kenikmatan duniawi mereka tak segan membunuh binatang dan saling menumpahkan darah, mengabaikan ciptaan Tuhan yang maha kuasa.”

Raja Miao Chuan melongo setelah mendengarkan perkataan Miao Shan yang bersifat kekanak-kanakan itu. Dia lalu berkata, “dengarkanlah anakku, apa yang Ayah lakukan untukmu adalah demi kebaikanmu, apakah engkau ingin seperti burung yang tidak mempunyai sarang atau seperti sekuntum bunga yang tidak terpelihara, mekar dan layu tanpa ada yang menggubrisnya? Disamping itu Ayah tidak ingin mendapat malu karena engkau sebagai putri raja menuntut penghidupan sebagat paderi, ayah adalah seorang yang berkuasa, semua orang tunduk kepada perintahku, maka ayah juga tidak ingin engkau menentang ucapan ayah.”

Miao Shan bersujud dan berkata, “Ingatlah ayahku, karena dalam kehidupan yang lalu ayah telah melakukan banyak kebaikan, sehingga dalam kehidupan sekarang ini bisa terlahir sebagai raja. Karma baik ini jangan dirusak lagi, kebaikan ayah dalam kehidupan yang lalu jangan sampai musnah. Semua manusia termasuk ayah dengan lekas bakal melihat alam akhirat, dimana

perbuatan yang jahat akan terlihat dengan jelas, hanya dengan perbuatan yang baik orang baru bisa mendapatkan ganjaran yang baik.”

Selanjutnya dia berkata,”Oleh karenanya, saya tidak mau bersuami, dan berusaha terus membersihkan roh dan pikiran saya, kehidupan manusia di dunia meskipun seratus tahun hanya sekejap saja, kalau saya tidak bersih, saya selama-lamanya akan mengalami kesusahan, tapi saya ingin mengikuti teladan orang-orang suci agar dapat mencapai kesempurnaan sebagai Buddha dengan menuntut penghidupan yang suci.”

Penolakan Miao Shan itu membuat Raja Miao Chuang menjadi gusar. Dia lantas memerintahkan melucuti segala kemuliaan Miao Shan sebagai putri raja, dan mengharuskan Miao Shan bekerja di kebun istana sebagai budak. Miao Shan menerima keputusan ayahnya dengan hati rela, justru di kebun bunga itu dirinya mendapatkan keleluasaan untuk mensucikan diri diri dan bersemedi.

Pada suatu hari ketika Miao Shan sedang duduk bersila dibawah sebuah pohon, datanglah Buddha Jian Teng yang memberikan pelajaran-pelajaran suci, sehingga pengetahuan Miao Shan menjadi bertambah.

Berulang-ulang raja Miao Chuang dan permaisuri serta kakaknya membujuk Miao Shan untuk mengubah niatnya, tetapi hati Miao Shan tetap tidak tergoyahkan, oleh karenanya raja lalu mengirimkan putrinya ke wihara Burung Putih dengan harapan para paderi perempuan di situ dapat membujuknya kembali ke jalan kehidupan yang diatur oleh raja Miao Chuang. Namun di vihara tersebut Miao Shan malah semakin mantap untuk menuntut kehidupan yang suci. Dia menyadari dengan mengenal dan hidup didalam hukum kebenaran. Manusia akan terbebas dari kekhawatiran, kesedihan, dan kejengkelan, untuk selanjutnya mencapai nirwana.

Di wihara itu Miao Shan juga berjumpa dengan seorang paderi tua bijaksana, yang memberikan pelajaran untuk mempertebal sifat kerohaniannya, sehingga hati Miao Shan semakin mantap dengan tujuannya.

Raja Miao Chuang mendengar bahwa putrinya bukan menjadi sadar, malah kini semakin jauh meninggalkan keinginan sang raja. Maka rajapun menjadi sangat gusar ditambah omongan yang mengatakan bahwa Miao Shan mempunyai hubungan dekat dengan seorang paderi laki-laki, dalam kemarahan yang amat sangat dia memerintahkan tentara untuk mengurung dan membakar habis wihara Burung putih beserta segenap isinya. Kobaran api yang menjulang tinggi telah meratakan wihara yang suci itu, memusnahkan semua paderi yang ada. Akan tetapi, keganasan api tersebut tidak mengganggu seujung rambutpun dari Miao Shan yang sedang duduk bersemedi dengan anggunnya, sekeliling tubuhnya dilindungi oleh pancaran cahaya yang sakti.

Tetapi Raja Miao Chuang yang sudah bermata gelap, berkeras hati untuk membinasakan putrinya. Dia memerintahkan jendral Kim Chao untuk menebas batang leher Miao Shan. Tiba-tiba langit menjadi gelap, seberkas cahaya yang mulia menyinari Miao Shan, dan ketika pedang algojo diayunkan, pedang itu mendadak patah menjadi dua, begitu juga tombak dan senjata-senjata lain yang ditujukan kepadanya.

Miao Shan menyadari para dewi telah melindungi dirinya, maka dia memohon kepada dewa-dewa untuk membiarkannya menerima kematian ini menjadi kodratnya. Dalam doanya yang sangat tulus dia berkata, "Ada saat hidup, ada pula saat mati. Saya telah selesai meminjam badan kasar di dunia untuk memberikan penerangan kepada manusia bahwa segala yang fana itu tidak kekal adanya, hanya kesempurnaan dan nirwana adalah jalan yang benar bagi manusia supaya terangkat dari lumpur kesusahan, mati dan hidup tidaklah dapat memusnahkan diriku yang sejati."

Akhirnya Miao Shan yang cantik jelita dan penuh kesucian itu, dengan langkah mantap berjalan mendekati tiang gantungan, mengakhiri kehidupan di dunia yang penuh dengan kepalsuan, dia meninggal sebagai martil yang mengorbankan dirinya untuk menunjukkan kepada manusia jalan menuju kesempurnaan.

Hari itu tanggaL 19 bulan ke-6 Imlek, langit menggelegar, menunjukkan kemarahannya, angin menjerit pedih meratapi kepergiannya, dan senyuman bunga bunga cantik menjadi pudar, berguguran satu demi satu membentuk permadani bagi roh yang suci itu.

Roh Miao Shan melayang meninggalkan badannya, naik ke bagian Dewachan yang paling tinggi, yang disebut alam Arupa, di tempat itu manusia bisa meninggalkan reinkarnasi atau tumimbal lahir yang tidak ada habis-habisnya dan penuh kesedihan itu.

Akan tetapi ketika sebelah kakinya sudah menginjak gerbang alam tersebut, Miao Shan mendengar ratapan sedih dari makhluk-makhluk di muka bumi yang sedang menderita, maka dia lalu membatalkan niatnya dan melayang kembali ke bumi untuk menolong orang-orang yang menderita dan bersedih hati.

Dalam perjalanan kembali ke dunia fana ini, Miao Shan mengunjungi alam akhirat, di situ dia bertemu dengan roh-roh dari segala macam manusia yang sedang menanggung sengsara akibat perbuatan mereka yang berdosa di dunia. Miao Shan lalu dengan lemah berbicara dengan mereka dan membantu mereka dengan semangat cinta kasih yang besar, sehingga roh-roh yang celaka itu menjadi insyaf dan memperoleh kebebasan.

Setetah Miao Shan bangkit kembali, dia mendapati dirinya sedang berbaring di bawah sebuah pohon cemara yang rindang, dengan ditunggui oleh seekor macan yang besar. Dia lalu menaiki macan tersebut menuju ke wihara Shiang Shan di Putau Pu To San, sebuah wihara yang sangat kuno dan didirikan pada zaman ketika manusia baru diciptakan.

Tentang pulau Pu To San ini menurut cerita kuno, konon dulunya di pulau itu terdapat gunung dupa yang seluruhnya berwarna putih, bahkan air laut di sekitar pulau itupun berwarna putih, sesuai dengan kesucian dewi Kwan Im yang bertahta di situ dengan pakaian yang serba putih.

Setelah berdiam sembilan tahun sambil melatih diri di Pulau itu, Miao Shan mencapai puncak kesempurnaan. Dia dapat melihat evolusi kehidupan manusia sejak jutaan tahun yang lalu. seperti sedang berada diatas puncak bukit dan memandan ke bawah, terlihat olehnya bagaimana manusia-manusia berkubang di dalam lumpur kehidupan di kaki bukit tersebut. Terlihat olehnya ada diantara mereka yang hendak melepaskan diri dari lumpur kehidupan dan berusaha naik ke bukit, banyak diantara mereka yang kesukaran ditemui di tengah perjalanan lalu mengurungkan maksudnya.

Banyak juga diantara mereka setetah melewati kesukaran dan menemukan pepohonan rindang di tengah bukit lalu bersenang-senang saja dan melupakan tujuannya.

Selanjutnya Miao Shan melihat bahwa bumi ini hanyalah sebuah gurun sahara atau setitik air di lautan teduh bila dibandingkan dengan kebesaran alam. Segala makhluk yang terdapat di alam semesta ini digerakkan oleh kekuatan gaib yang maha dahsyat, semuanya berusaha untuk lebih memperbaiki dirinya sendiri menurut ilmu alam, seseorang yang hidup tentu akan mati, dan kematian itu hanyalah untuk membuatnya agar hidup kembali dengan lebih sempurna daripada kehidupan yang lalu.

Hari itu adalah tanggal 19 bulan ke-9 Imlek, datanglah raja naga dari lautan barat, dewa-dewa dari 5 gunung suci yang berjumlah 120 dan 36 pembesar yang mengurus sang waktu, malaikat-malaikat langit yang berkuasa atas angin, hujan, dan halilintar. 3 makhluk suci yang menjadi sebab munculnya kehidupan.

Miao Shan bertahta di atas setangkai bunga teratai putih, wajahnya memancarkan sinar kesucian. Mereka yang datang menyampaikan hormatnya kepada putri Miao Shan yang telah mencapai tingkatan Buddha, dengan gelar Kwan Im Pou Sat atau Buddha Avatokitteswarna, yang artinya “Yang melihat ke bawah dan mendengarkan permohonan mahluk hidup.”

Sebagai pengikutnya, maka diambilnya seorang anak sakti bernama Ang Hay Lie dan putri raja naga bernama Lung Nu. Lem Bu Kwan Si Im Pou Sat Mo Ho Sat atau dewi Kwan Im, sejak saat itu menyebarkan berkahnya kepada umat manusia.

Setetah raja Miao Chuang membakar wihara burung putih dan menghukum mati anaknya, dia mendapatkan hukuman dari yang maha kuasa sehingga sekujur tubuhnya timbul bisul yang sangat menyakitkan, bermacam-macam ramuan dan puluhan tabib telah gagal untuk menyembuhkannya.

Dalam keadaan berputus asa itu datanglah seorang paderi yang berkata kepadanya bahwa hanya dengan tangan dan mata dari anaknya yang dibuat ramuan, barulah penyakit raja dapat disembuhkan.

Tentu saja ini adalah hal yang sulit untuk dilaksanakan, karena Miao Yuan dan Miao Yin tidak mau mengorbankan anggota tubuhnya demi kesembuhan ayah mereka, dan raja Miao Chuang pasti tak luput dari kematian dengan menanggung kesengsaraan yang hebat. Dewi Kwan Im mendengar kabar itu, dan dengan sifat welas asihnya yang sangat besar menyerahkan mata dan tangannya untuk menolong orang yang pernah menghukum mati dirinya.

Ketika menterinya mengantarkan mata dan tangan dewi Kwan Im untuk dibuat ramuan obat, raja Miao Chuang merasa sangat heran dan berkata,“Dewa manakah yang begitu murah hati mau menyerahkan mata dan tangannya demi kesembuhan diriku?"

Tetapi keheranan itu meledak menjadi tangisan yang mengharukan ketika semuanya mengenali bahwa tangan tersebut bukan lain adalah tangan Miao Shan karena terdapat sebuah tahi lalat di masing-masing tangan itu. Setelah kejadian itu raja Miao Chuang menjadi sadar atas kesalahannya, dan akhirnya dia meletakkan jabatannya, kemudian menuntut kehidupan yang suci. Begitulah dewi Kwan In dengan kebaktian yang tulus kepada orang tuanya, telah dapat menebus dosa raja Miao Chuang dengan menyadarkannya untuk kemudian membimbingnya menuju kehidupan yang kekal, sebab kecintaan yang paling tinggi dan mulia dari seorang suci dapat mempengaruhi karma dari orang lain bahkan melenyapkan sebagian besar dari dosa roh-roh jahat yang terjerumus di neraka sehingga mereka bisa mencapai nirwana.

Arti lambang dari patung Kwan Im

Kwan Im adalah dewi yang dihormati oleh umat Buddha Mahayana, dan sebagian besar dihormati di negara-negara Asia Timur. Dengan beberapa nama atau cara yang berbeda dari ejaan seperti Kwan Im, Kuan Yin, dan Guanyin, semuanya dikenal sebagai dewi welas asih. Nama 'Kuan Yin' atau 'Guanyin', secara harfiah berarti orang yang mengamati suara tangisan dunia.

Kwan Im pada dasarnya melambangkan kebaikan, cinta dan kasih sayang, empati, perhatian. Bukan hanya menampilkan emosi, dewi ini melambangkan cinta ilahi dan energi yang berasal dari pencerahan. Dia adalah lambang cinta untuk umatnya. Ketika seseorang menyebut namanya, diyakini bahwa dia akan menjawab tangisan atau doa dari makhluk tertekan.

Banyak orang menganggap bahwa umat Buddha adalah penyembah berhala, padahal umat Buddha bersujud kepada patung Buddha untuk menyatakan rasa hormat dan terima kasihnya kepada sang guru yang telah memberikan ajarannya kepada umat manusia. Ketika umat Buddha bersujud kepada patung Kwan Im, maka mereka sebenarnya menghormati sifat welas asih, pengorbanan dan sifat suka menolong yang dilambangkan pada patung dewi Kwan Im.

Patung Kwan Im menggambarkan dewi yang seringkali terbungkus dalam jubah putih. Bersama dengan itu, patung dewi Kwan Im juga kadang disertakan simbol naga, Kwan Im yang sedang memegang anak, atau Kwan Im yang sedang duduk atau berdiri, adalah berbagai macam patung kita sering jumpai. Mari kita lihat arti dari rincian yang bervariasi dari patung-patung tersebut.

Patung Kwan Im memegang anak Patung Kwan Im ini nampak seperti ibu yang peduli pada anaknya. Patung ini tidak hanya melambangkan hubungan ibu dan anak, tetapi juga karakteristik dari siklus kehidupan dan juga merupakan tanda kehidupan spiritual.

Patung Kwan Im memegang vas Vas dipegang oleh Kwan Im mengandung air ilahi. Seringkali, patung ini menggambarkan aliran air atau air kehidupan yang dituangkan turun dari vas. Air ini memiliki kekuatan untuk menghilangkan penderitaan orang miskin. Air ini juga dapat membebaskan tubuh dan pikiran manusia dari kekotoran.

Patung Kwan Im dengan tangkai dedalu Ini menggambarkan kehangatan dan cinta.

Patung dewi Kwan Im memegang padi Patung ini menggambarkan kesuburan dan rezeki.

Kadangkala, patung ini juga digambarkan dengan memegang bunga lotus. Bunga ini menunjukkan kemurnian dan tanpa unsur kejahatan.

Patung dewi Kwan Im dapat ditempatkan di pintu masuk kantor atau di rumah. Wajah patung harus menghadap pintu masuk. Hal ini membantu dalam menjaga energi positif di daerah tersebut, menambahkan sikap menyambut baik ke titik kontak pertama bagi pendatang. Jika diletakkan di ruang terbuka, taruhlah patung di dekat pohon, ini akan menjadi ide yang bagus. Di Jepang, Korea, dan negara-negara Asia Timur lainnya, patung dewi Kwan Im ditempatkan di tempat-tempat yang terlihat, sehingga semua orang yang lewat akan mengingat ajaran-ajaran dan nilai-nilai spiritual yang akan membantu mereka jauh dari tindakan yang buruk.

Related Posts